Bagi sebagian orang, istilah Self-Interest mungkin tidak begitu asing lagi di telinga mereka. Secara harfiah self-interest berasal dari bahasa Inggris yang memiliki arti “kepentingan pribadi”. Hakikatnya konsep tentang istilah ini telah melanglang buana dari zaman-zaman sebelum generasi gadget muncul dan telah melalui berbagai perjalanan filosofis dialektis yang begitu alot dengan berbagai konsep dan arti yang cukup beragam, namun konsep self-interest ini sendiri mulai dikenal oleh masyarakat dalam studi Ilmu Ekonomi dan dipopulerkan oleh Bapak Ekonomi yaitu Adam Smith.
Adam Smith memperlihatkan
bahwa self-interest dari persfektif Ilmu
Ekonomi merupakan suatu dasar pemikiran manusia terkait berbagai tindakan yang
dilakukan berdasar pada ego yang tinggi dengan menitikberatkan pada apa yang
menguntungkan untuk dirinya dan mengesampingkan kepentingan orang lain. Dalam
artian bahwa segala pekerjaan yang dilakukan baik untuk dirinya sendiri maupun
untuk orang lain selalu bertendensi pada kepentingan pribadi dan sifatnya
indivudalistik dan dipercaya menjadi dasar dari berbagai tindakan rasional yang
dilakukan oleh manusia.
Dalam pandangan penulis,
sebenarnya manusia tidak hanya memiliki self-interest
dalam dirinya saja, namun di lain sisi mereka juga memiliki kepekaan dan
kepedulian yang kuat terhadap lingkungannya, baik itu untuk sesama manusia
maupun makhluk hidup lainnya. Seperti dalam sebuah buku tentang psikologi
kepribadian menjelaskan bahwa hakikatnya dalam jiwa mansuia juga terdapat
sifat-sifat kepedulian terhadap orang lain yang kemudian diistilahkan sebagai social-interest yang mendorong untuk
melakukan kebaikan kepada siapa pun yang mampu menyentuh hati nuraninya.
Istilah lain yang lebih sering kita dengar yaitu sifat empati dan simpati.
Di bulan yang penuh
berkah ini, yaitu bulan suci Ramadan, setiap umat Islam dihadapkan pada
realitas sosial di mana mereka berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan karena
dijanjikan pahala yang berkali-kali lipat. Memaksimalkan ibadah kepada-Nya,
berbaik dan berbagi kepada sesama yang membutuhkan, dengan syarat mengikhlaskan
hati dan pikiran terhadap apa yang dilakukan dan diberikan. Namun dalam pikiran-pikiran liar kita yang
terkadang mencari pembenaran dan rasionalitas sering kali muncul pertanyaan,
bagaimana mengukur tingkat keikhlasan seseorang? Apakah kebaikan yang kita lakukan
selama ini berdasar atas ketulusan hati ataupun sekedar ingin memperkuat
eksistensi dan mencari keuntungan? Kita berbaik dan berbagi kepada orang lain,
kemudian mendapat keuntungan untuk diri pribadi yang berupa pahala dan timbal
balik lainnya, dan bukankah pernyataan tersebut termasuk dalam cakupan konsep self-interest
itu sendiri.
Di lain sisi sebenarnya
konsep self-interest tidak selalu
dikonotasikan secara negatif. Dalam sebuah buku mengatakan bahwa self-interest terdiri atas dua yaitu Bad-Interest dan Good-Interest, yang kemudian penulis simpulkan bahwa bad-interest yaitu tindakan yang
dilakukan hanya untuk kepentingan diri sendiri tanpa mengutungkan orang lain
sedangkan untuk good-interest yaitu
tindakan yang dilakukan yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dan
juga orang lain. Dan pilihan kita tergantung dari dalam diri kita sendiri
apakah kita melakukan sebuah tindakan dari dua pilihan itu.
Seorang pemikir bernama
Agustinus, mengatakan bahwa self-interest
merupakan sebuah gerak vertikal terhadap penghambaan diri kepada pencipta kita,
yaitu Allah. Sehingga bisa juga kita artikan bahwa lakukanlah kebaikan
sebanyak dan seikhlas mungkin, selain
menguntungkan untuk diri kita, orang lain pun harus mendapat keuntungan. Yakini
dalam diri bahwa setiap tindakan yang dilakukan bernilai besar bagi siapa pun
yang terdampak. Biarkan Sang Pencipta yang mengukur seberapa banyak dan
seberapa tulus hati dalam menjalankan segala kebaikan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar