Di era post modernisme dalam konteks perkembangan, masyarakat konsumen merupakan sebuah fase yang akan memperkenalkan kita terhadap sebuah fenomena di mana kebutuhan dan keinginan telah membaur, tidak jelas dan sulit kita bedakan satu dengan yang lainnya atau dalam bahasa teoritisnya post modernisme ini adalah sebuah pola masyarakat yang cenderung di organisasikan di seputar konsumsi daripada pengadaan atau produksi barang dan jasa. Keberadaan fase ini akan mengkonstruk tatanan sosial masyarakat untuk lebih progresif dalam melahirkan masyarakat yang over-konsumtif. Berbeda dengan masyarakat tradisional yang selalu digambarkan bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat, proses atau aktivitas konsumsi selalu didasarkan pada pemenuhan kebutuhan demi keberlangsungan kehidupannya. Sedangkan era post-modern, perilaku atau aktivitas konsumsi dalam pemenuhan kebutuhan justru didorong oleh faktor yang irasionl yang didasari oleh gengsi bukan untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya.
Di dalam
bangunan pemikiran Adam Smith yang dikutip oleh Dr. Bagong Suyanto (2017), menyatakan bahwa masyarakat
yang kapitalistik dan rasional umumnya akan membeli dan mengonsumsi suatu
barang dan jasa ketika dibutuhkan dan disertai dengan dasar pertimbangan yang
serba rasional (mengkalkulasi untung-rugi dan dibayangkan pula bahwa masyarakat
mencari komoditi dengan harga yang paling rendah karena dari situlah sifat
rasional masyarakat bekerja).
Namun,
sudah jamak kita jumpai di dalam kehidupan bermasyarakat ketika membeli sebuah
barang dan jasa bukan sekedar dilihat dari nilai kebermanfaatannya atau atas
dasar desakan pemenuhan kebutuhan, akan tetapi dipengaruhi oleh tuntutan gaya
hidup (life-style). Hal itu dilakukan demi sebuah citra yang dibentuk
oleh cara berpikir masyarakat yang terpola oleh deretan iklan dan tayangan
infotaiment atau gaya hidup selebritas di dunia maya yang diidolakan.
Keberadaan barang tersebut juga sebagai penanda status sosial di masyarakat. Semakin mahal harga suatu barang yang
dibeli di mata publik maka, semakin tinggi pula simbol atau status sosialnya di
dalam masyarakat.
Sehingga
aktivitas konsumsi masyarakat hari ini lebih banyak yang terjebak pada pola konsumsi yang lebih mengedepankan dan menekankan pada
simbol atau citra sosialitas. Olenya itu, dengan mengonsumsi objek tertentu
menandakan kita sama dengan orang lain yang juga mengonsumsi barang tersebut dan
di satu sisi kita berbeda dengan orang lain yang mengonsumsi objek yang berbeda.
Maka perlahan keputusan mengonsumsi suatu barang tidak lagi berdasarkan logika
atau dapat dikatakan menggeser teori rasionalitas.
Apabila
kita terus menerus mengikuti pola konsumsi seperti ini dapat dipastikan konsumen atau masyarakat
akan terhegemoni oleh promosi yang
dikembangkan kekuatan kapitalis dan mengganggap realitas semu sebagai realitas
nyata. Masyarakat tanpa sadar akan mengembangkan budaya konsumerisme yang
radikal, selalu tak puas untuk membeli dan mengonsumsi berbagai produk yang
mereka lihat.
Hal ini juga dapat menggeser
kebudayaan luhur yang telah turun temurun ada di Indonesia. Berkembang pesatnya
teknologi memudahkan orang-orang untuk semakin banyak menilik percontohan dari
budaya-budaya luar. Sekaitan dengan itu, selain akses melihat budaya luar,
dengan mudahnya juga masyarakat kita dapat mendatangkan langsung produk-produk
dari luar lewat E-Commerce. Maraknya E-Commerce memudahkan orang-orang
bertransaksi di mana pun dan kapan pun. Dampak baiknya acap kali mendatangkan pula dampak buruk. Salah satunya
ialah meningkatkan budaya konsumerisme di kalangan masyarakat secara luas.
Siapa pun
dapat mengakses market place
yang bertebaran, tak melihat kalangan anak-anak, remaja maupun lanjut usia (lansia) sekalipun semua dapat membeli barang di
mana saja dan kapan saja. Transaksi pembayaran yang
fleksibel juga menjadi faktor pendukung yang kuat.
Saya secara pribadi sangat terbantu
dengan E-Commerce ini, namun yang dikhawatirkan kemudahan tersebut berdampak
secara luas dalam menggeser rasionalitas konsumen menjadi konsep yang
irasional. Untuk menjegal kekhawatiran tersebut baiknya dibutuhkan kesadaran
bersama. Hal sederhana yang sebenarnya dapat berdampak besar. Membangun
kesadaran konsumen akan pentingnya mengetahui pengklasifikasian kebutuhan dan
keinginan. Sebelum membeli smartphone misalnya atau barang-barang komplementer
lainnya, baiknya memastikan dulu apakah kebutuhan makan sebulan sampai hari
gajian mendatang sudah tercukupi atau tidak. Apabila kesadaran ini pesat
terbangun di masyarakat dalam mengonsumsi sesuatu maka aktualiasasi pola
konsumsi rasional akan kembali kita
rasakan bersama.
Salam Rasionalitas.