Pages

Kamis, 13 Mei 2021

Irasional : Larangan Mudik dan Selamat Datang Warga Negara Asing

            H- kurang dari sepekan lagi umat beragama paling besar di Indonesia merayakan hari rayanya. Menjelang hari raya Idul Fitri 1442 H selain tradisi harga bahan pokok atau sembako naik, orang-orang yang bekerja di luar kampung halamannya juga memiliki tradisi yang dinamakan mudik.

Mudik atau pulang ke kampung halaman bisa dikatakan sebuah tradisi turun temurun menjelang perayaan besar seperti hari raya umat beragama. Maka Idul Fitri dan mudik bisa menjadi hal yang tidak terpisahkan. Bukan tanpa sebab tradisi mudik ini ada. Orang-orang yang bekerja di luar daerah asal biasanya hanya berkesempatan mendapat libur panjang di hari-hari besar tertentu, salah satunya momen tahunan Idul Fitri. Tak jarang mereka akan memanfaatkan kesempatan ini untuk berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara di kampung halaman.

Namun semenjak pandemi virus Covid-19 menyerang, pemerintah dengan segala upayanya dalam menghambat penyebaran virus ini gencar mengeluarkan kebijakan-kebijakan, mulai dari aspek pendidikan, pariwisata, sosial ekonomi dan yang utama kesehatan tentunya. Mudik adalah salah satu hal yang menjadi sasaran kebijakan pemerintah. Sejak tahun 2020 di awal virus ini masuk ke Indonesia berkisar awal bulan Februari, berbagai kebijakan-kebijakan pun dikeluarkan demi memutus rantai penyebarannya. Namun nyatanya virus ini lebih kuat dari kebijakan-kebijakan yang gencar dikeluarkan.

Dari hari raya Idul Fitri 1441 H tahun lalu, himbauan dilarang mudik telah dikumandankan, akan tetapi hanya pada wilayah yang berlaku Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), zona merah dan beberapa wilayah tertentu. Namun, pada larangan mudik tahun ini berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia, sebelum resmi berlaku pada tanggal 6 - 17 Mei 2021 pun masyarakat telah diminta untuk tidak keluar rumah.

Kebijakan larangan mudik yang ditujukan untuk menekan penyebaran virus Covid-19 dan memaksimalkan proses vaksinasi ini acap kali kembali menimbulkan pro dan kontra. Bukan tanpa alasan, di tengah isu pemerintah mengeluarkan petuah larangan mudik (sebelum tanggal 6 Mei) terdengar kabar bahwa sebanyak 117 warga negara India masuk ke Indonesia pada Rabu, 21 April 2021 melalui Bandara Soekarno-Hatta menggunakan pesawat carter. Sementara di India sana dikabarkan sedang dalam masa krisis Covid-19 yang sangat parah.

Kedatangan mereka tak heran menjadi senter perhatian masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan kebijakan larangan mudik bagi masyarakat Indonesia, sementara bandara Internasional masih leluasa terbuka dan sangat diberi kelonggaran. Sebenarnya pencegahan penyebaran virus seperti apa yang pemerintah harapkan?.

Hanya karena mereka memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) dan Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap) lantas diperbolehkan masuk ke tanah ibu pertiwi. Lalu bagaimana dengan kami masyarakat pribumi. Jika karena alasan telah melalui prosedur di badan imigrasi dan melakukan screening test Covid-19 Warga Negara Asing (WNA) bersuka cita memasuki wilayah Indonesia, apakah kami juga ketika telah memiliki hasil tes PCR negatif juga boleh mudik? Nyatanya tidak begitu, para aparat-aparat pemeriksa tetap menyuruh pemudik putar balik meski terbukti dinyatakan negatif Covid.

Kebijakan larangan mudik di tengah masuknya WNA ini tentu menjadi hal yang irasional. Entah bagaimana pemerintah melogikakannya. Masyarakat lokal yang lahir dan besar di tanah ini sangat dibatasi untuk berhari raya di kampung halaman bersama keluarga mereka, sedang WNA bak raja dan ratu tamu istana. Sebegitu berharganya kah penduduk negeri luar dibanding penduduk lokal?

Terlintas di media-media koran dan digital, masyarakat sampai rela bersembunyi di dalam truk membawa anak dan istrinya, menahan pengap dan teriknya matahari demi berkumpul bersama orang tua dan sanak saudara yang masih ada. Namun tetap ketahuan juga oleh aparat pemeriksa. Bagaimanakah kemanusiaan berlaku di kondisi seperti ini? Tak hanya satu dua orang yang tertahan dan ketahuan mudik, tapi ada banyak, dengan beragam cerita. Mereka seakan diburu di negerinya sendiri, hanya karena keinginan dan kerinduan kepada orang tua.

"Tahun lalu kita dilarang mudik, tahun ini entah dilarang atau dibolehkan, percuma orang tua saya juga sudah tiada." Salah satu kalimat dari pro kontra larangan mudik yang membuat saya sebagai penulis ikut menitikkan air mata mendengarnya. Hal yang sangat miris terjadi di negeri merah putih ini.

Sebagian besar dari masyarakat kita telah menjadikan datangnya virus corona ini sebagai habits baru, karena telah lebih dari setahun kita hidup berdampingan, memakai masker setiap keluar rumah, menjaga jarak dengan orang lain dan kebiasaan-kebiasaan baru untuk mencegah penularan penyakit. Jadi, meskipun kasus-kasus orang yang terpapar masih ada, akan tetapi setidaknya masyarakat kita tidak lagi begitu parno dan ketakutan seperti awal-awal kemunculannya. Maka dari itu sebenarnya kekhawatiran siapa yang sedang pemerintah jaga?

            Cukup dengan melakukan tes Swab PCR atau sejenisnya dan pemeriksaan di jalur perbatasan, lalu pemerintah memastikan jalur antar kota lancar, saya pribadi berpendapat mudik tidak perlu dikekang sekeras ini, toh hanya sekali setahun dan faktor kemanusian juga, orang tua tidak hidup selamanya, rumah tetaplah merindukan penghuninya. Hal sederhana yang begitu berharga untuk arti sebuah hari raya dan kebersamaan.

Penulis    : Sri Nurfadillah Asnawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bergesernya Perilaku Konsumen di Era Post-Modernisme (Dari Rasional Ke-Irasional)

              Di era post modernisme dalam konteks perkembangan, masyarakat konsumen merupakan sebuah fase yang akan memperkenalkan kita ter...