H- kurang dari sepekan lagi umat beragama paling besar di Indonesia merayakan hari rayanya. Menjelang hari raya Idul Fitri 1442 H selain tradisi harga bahan pokok atau sembako naik, orang-orang yang bekerja di luar kampung halamannya juga memiliki tradisi yang dinamakan mudik.
Mudik atau pulang ke kampung halaman bisa
dikatakan sebuah tradisi turun temurun menjelang perayaan besar seperti hari
raya umat beragama. Maka Idul Fitri dan mudik bisa menjadi hal yang tidak
terpisahkan. Bukan tanpa sebab tradisi mudik ini ada. Orang-orang yang bekerja
di luar daerah asal biasanya hanya
berkesempatan mendapat libur panjang di hari-hari besar tertentu, salah satunya
momen tahunan Idul Fitri. Tak jarang mereka akan memanfaatkan kesempatan ini
untuk berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara di kampung halaman.
Namun semenjak pandemi virus Covid-19 menyerang, pemerintah dengan segala upayanya
dalam menghambat penyebaran virus ini gencar mengeluarkan kebijakan-kebijakan,
mulai dari aspek pendidikan, pariwisata, sosial ekonomi dan yang utama
kesehatan tentunya. Mudik adalah salah satu hal yang menjadi sasaran kebijakan
pemerintah. Sejak tahun 2020 di awal virus ini masuk ke Indonesia berkisar awal
bulan Februari, berbagai
kebijakan-kebijakan pun dikeluarkan demi memutus rantai
penyebarannya. Namun nyatanya virus ini
lebih kuat dari kebijakan-kebijakan yang gencar
dikeluarkan.
Dari hari raya Idul Fitri 1441 H tahun lalu,
himbauan dilarang mudik telah dikumandankan, akan tetapi hanya pada wilayah
yang berlaku Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), zona merah dan beberapa
wilayah tertentu. Namun, pada larangan mudik tahun ini berlaku untuk seluruh wilayah
di Indonesia, sebelum resmi berlaku pada tanggal 6 - 17 Mei 2021 pun masyarakat
telah diminta untuk tidak keluar rumah.
Kebijakan larangan mudik yang ditujukan
untuk menekan penyebaran virus Covid-19 dan memaksimalkan
proses vaksinasi ini acap kali kembali menimbulkan pro dan kontra. Bukan tanpa
alasan, di tengah isu pemerintah mengeluarkan petuah larangan mudik (sebelum
tanggal 6 Mei) terdengar kabar bahwa sebanyak 117 warga negara India masuk ke
Indonesia pada Rabu, 21 April 2021 melalui Bandara
Soekarno-Hatta menggunakan pesawat carter. Sementara di India sana dikabarkan
sedang dalam masa krisis Covid-19 yang sangat
parah.
Kedatangan mereka tak heran menjadi senter
perhatian masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan kebijakan larangan mudik bagi
masyarakat Indonesia, sementara bandara Internasional masih leluasa terbuka dan
sangat diberi kelonggaran. Sebenarnya pencegahan penyebaran virus seperti apa
yang pemerintah harapkan?.
Hanya karena mereka memiliki Kartu Izin
Tinggal Terbatas (Kitas) dan Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap) lantas
diperbolehkan masuk ke tanah ibu pertiwi. Lalu bagaimana dengan kami masyarakat
pribumi. Jika karena alasan telah melalui prosedur di badan imigrasi dan melakukan screening
test Covid-19 Warga Negara Asing (WNA) bersuka cita memasuki wilayah
Indonesia, apakah kami juga ketika telah memiliki hasil tes PCR negatif juga
boleh mudik? Nyatanya tidak begitu, para aparat-aparat pemeriksa tetap menyuruh
pemudik putar balik meski terbukti dinyatakan negatif Covid.
Kebijakan larangan mudik di tengah
masuknya WNA ini tentu menjadi hal yang irasional. Entah bagaimana pemerintah
melogikakannya. Masyarakat lokal yang lahir dan besar di tanah ini sangat
dibatasi untuk berhari raya di kampung halaman bersama keluarga mereka, sedang
WNA bak raja dan ratu tamu istana. Sebegitu berharganya kah penduduk negeri
luar dibanding penduduk lokal?
Terlintas di media-media koran dan digital,
masyarakat sampai rela bersembunyi di dalam truk membawa anak dan istrinya,
menahan pengap dan teriknya matahari demi berkumpul bersama orang tua dan sanak
saudara yang masih ada. Namun tetap ketahuan juga oleh aparat pemeriksa. Bagaimanakah kemanusiaan
berlaku di kondisi seperti ini? Tak hanya satu dua orang yang tertahan dan
ketahuan mudik, tapi ada banyak, dengan beragam cerita. Mereka seakan diburu di negerinya sendiri, hanya karena keinginan dan
kerinduan kepada orang tua.
"Tahun
lalu kita dilarang mudik, tahun ini entah dilarang atau dibolehkan, percuma
orang tua saya juga sudah tiada." Salah satu kalimat dari pro kontra larangan mudik yang
membuat saya sebagai penulis ikut menitikkan air mata mendengarnya. Hal yang
sangat miris terjadi di negeri merah putih ini.
Sebagian besar dari masyarakat kita telah
menjadikan datangnya virus corona ini sebagai habits baru, karena telah lebih dari setahun kita hidup
berdampingan, memakai masker setiap keluar rumah, menjaga jarak dengan orang
lain dan kebiasaan-kebiasaan baru untuk mencegah penularan penyakit. Jadi,
meskipun kasus-kasus orang yang terpapar masih ada, akan tetapi setidaknya
masyarakat kita tidak lagi begitu parno dan ketakutan seperti awal-awal
kemunculannya. Maka dari itu sebenarnya kekhawatiran siapa yang sedang
pemerintah jaga?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar