Pages

Sabtu, 15 Mei 2021

Bergesernya Perilaku Konsumen di Era Post-Modernisme (Dari Rasional Ke-Irasional)

           Di era post modernisme dalam konteks perkembangan, masyarakat konsumen merupakan sebuah fase yang akan memperkenalkan kita terhadap sebuah fenomena di mana kebutuhan dan keinginan telah membaur, tidak jelas dan sulit kita bedakan satu dengan yang lainnya atau dalam bahasa teoritisnya post modernisme ini adalah sebuah pola masyarakat yang cenderung di organisasikan di seputar konsumsi daripada pengadaan atau produksi barang dan jasa. Keberadaan  fase ini akan mengkonstruk tatanan sosial masyarakat untuk lebih progresif dalam melahirkan masyarakat yang over-konsumtif. Berbeda dengan masyarakat tradisional yang selalu digambarkan bahwa di dalam kehidupan bermasyarakat, proses atau aktivitas konsumsi selalu didasarkan pada pemenuhan kebutuhan demi keberlangsungan kehidupannya. Sedangkan era post-modern, perilaku atau aktivitas konsumsi dalam pemenuhan kebutuhan justru didorong oleh faktor yang irasionl yang didasari oleh gengsi bukan untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya.

Di dalam bangunan pemikiran Adam Smith yang dikutip oleh Dr. Bagong  Suyanto (2017), menyatakan bahwa masyarakat yang kapitalistik dan rasional umumnya akan membeli dan mengonsumsi suatu barang dan jasa ketika dibutuhkan dan disertai dengan dasar pertimbangan yang serba rasional (mengkalkulasi untung-rugi dan dibayangkan pula bahwa masyarakat mencari komoditi dengan harga yang paling rendah karena dari situlah sifat rasional masyarakat bekerja).

Namun, sudah jamak kita jumpai di dalam kehidupan bermasyarakat ketika membeli sebuah barang dan jasa bukan sekedar dilihat dari nilai kebermanfaatannya atau atas dasar desakan pemenuhan kebutuhan, akan tetapi dipengaruhi oleh tuntutan gaya hidup (life-style). Hal itu dilakukan demi sebuah citra yang dibentuk oleh cara berpikir masyarakat yang terpola oleh deretan iklan dan tayangan infotaiment atau gaya hidup selebritas di dunia maya yang diidolakan. Keberadaan barang tersebut juga sebagai penanda status sosial di masyarakat. Semakin mahal harga suatu barang yang dibeli di mata publik maka, semakin tinggi pula simbol atau status sosialnya di dalam masyarakat.

Sehingga aktivitas konsumsi masyarakat hari ini lebih banyak yang terjebak pada pola konsumsi yang lebih mengedepankan dan menekankan pada simbol atau citra sosialitas. Olenya itu, dengan mengonsumsi objek tertentu menandakan kita sama dengan orang lain yang juga mengonsumsi barang tersebut dan di satu sisi kita berbeda dengan orang lain yang mengonsumsi objek yang berbeda. Maka perlahan keputusan mengonsumsi suatu barang tidak lagi berdasarkan logika atau dapat dikatakan menggeser teori rasionalitas.

Apabila kita terus menerus mengikuti pola konsumsi seperti ini dapat dipastikan  konsumen atau masyarakat akan terhegemoni oleh promosi yang dikembangkan kekuatan kapitalis dan mengganggap realitas semu sebagai realitas nyata. Masyarakat tanpa sadar akan mengembangkan budaya konsumerisme yang radikal, selalu tak puas untuk membeli dan mengonsumsi berbagai produk yang mereka lihat.

            Hal ini juga dapat menggeser kebudayaan luhur yang telah turun temurun ada di Indonesia. Berkembang pesatnya teknologi memudahkan orang-orang untuk semakin banyak menilik percontohan dari budaya-budaya luar. Sekaitan dengan itu, selain akses melihat budaya luar, dengan mudahnya juga masyarakat kita dapat mendatangkan langsung produk-produk dari luar lewat E-Commerce. Maraknya E-Commerce memudahkan orang-orang bertransaksi di mana pun dan kapan pun. Dampak baiknya acap kali mendatangkan pula dampak buruk. Salah satunya ialah meningkatkan budaya konsumerisme di kalangan masyarakat secara luas. Siapa pun dapat mengakses market place yang bertebaran, tak melihat kalangan anak-anak, remaja maupun lanjut usia (lansia) sekalipun semua dapat membeli barang di mana saja dan kapan saja. Transaksi pembayaran yang fleksibel juga menjadi faktor pendukung yang kuat.

            Saya secara pribadi sangat terbantu dengan E-Commerce ini, namun yang dikhawatirkan kemudahan tersebut berdampak secara luas dalam menggeser rasionalitas konsumen menjadi konsep yang irasional. Untuk menjegal kekhawatiran tersebut baiknya dibutuhkan kesadaran bersama. Hal sederhana yang sebenarnya dapat berdampak besar. Membangun kesadaran konsumen akan pentingnya mengetahui pengklasifikasian kebutuhan dan keinginan. Sebelum membeli smartphone misalnya atau barang-barang komplementer lainnya, baiknya memastikan dulu apakah kebutuhan makan sebulan sampai hari gajian mendatang sudah tercukupi atau tidak. Apabila kesadaran ini pesat terbangun di masyarakat dalam mengonsumsi sesuatu maka aktualiasasi pola konsumsi  rasional akan kembali kita rasakan bersama.

Salam Rasionalitas.

Do The Right Things To Get The Right Things.

Penulis     : Irvan

Menelaah Konsep Self-Interest di Bulan Suci Ramadhan “ Ajang Ketulusan Hati atau Kepentingan Pribadi?”

            Bagi sebagian orang, istilah Self-Interest mungkin tidak begitu asing lagi di telinga mereka. Secara harfiah self-interest berasal dari bahasa Inggris yang memiliki arti “kepentingan pribadi”. Hakikatnya konsep tentang istilah ini telah melanglang buana dari zaman-zaman sebelum generasi gadget muncul dan telah melalui berbagai perjalanan filosofis dialektis yang begitu alot dengan berbagai konsep dan arti yang cukup beragam, namun konsep self-interest ini sendiri mulai dikenal oleh masyarakat dalam studi Ilmu Ekonomi dan dipopulerkan oleh Bapak Ekonomi yaitu Adam Smith.

Adam Smith memperlihatkan bahwa self-interest dari persfektif Ilmu Ekonomi merupakan suatu dasar pemikiran manusia terkait berbagai tindakan yang dilakukan berdasar pada ego yang tinggi dengan menitikberatkan pada apa yang menguntungkan untuk dirinya dan mengesampingkan kepentingan orang lain. Dalam artian bahwa segala pekerjaan yang dilakukan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain selalu bertendensi pada kepentingan pribadi dan sifatnya indivudalistik dan dipercaya menjadi dasar dari berbagai tindakan rasional yang dilakukan oleh manusia.

Dalam pandangan penulis, sebenarnya manusia tidak hanya memiliki self-interest dalam dirinya saja, namun di lain sisi mereka juga memiliki kepekaan dan kepedulian yang kuat terhadap lingkungannya, baik itu untuk sesama manusia maupun makhluk hidup lainnya. Seperti dalam sebuah buku tentang psikologi kepribadian menjelaskan bahwa hakikatnya dalam jiwa mansuia juga terdapat sifat-sifat kepedulian terhadap orang lain yang kemudian diistilahkan sebagai social-interest yang mendorong untuk melakukan kebaikan kepada siapa pun yang mampu menyentuh hati nuraninya. Istilah lain yang lebih sering kita dengar yaitu sifat empati dan simpati.

Di bulan yang penuh berkah ini, yaitu bulan suci Ramadan, setiap umat Islam dihadapkan pada realitas sosial di mana mereka berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan karena dijanjikan pahala yang berkali-kali lipat. Memaksimalkan ibadah kepada-Nya, berbaik dan berbagi kepada sesama yang membutuhkan, dengan syarat mengikhlaskan hati dan pikiran terhadap apa yang dilakukan dan diberikan. Namun  dalam pikiran-pikiran liar kita yang terkadang mencari pembenaran dan rasionalitas sering kali muncul pertanyaan, bagaimana mengukur tingkat keikhlasan seseorang? Apakah kebaikan yang kita lakukan selama ini berdasar atas ketulusan hati ataupun sekedar ingin memperkuat eksistensi dan mencari keuntungan? Kita berbaik dan berbagi kepada orang lain, kemudian mendapat keuntungan untuk diri pribadi yang berupa pahala dan timbal balik lainnya, dan bukankah pernyataan tersebut termasuk dalam cakupan konsep self-interest itu sendiri.

Di lain sisi sebenarnya konsep self-interest tidak selalu dikonotasikan secara negatif. Dalam sebuah buku mengatakan bahwa self-interest terdiri atas dua yaitu Bad-Interest dan Good-Interest, yang kemudian penulis simpulkan bahwa bad-interest yaitu tindakan yang dilakukan hanya untuk kepentingan diri sendiri tanpa mengutungkan orang lain sedangkan untuk good-interest yaitu tindakan yang dilakukan yang bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri dan juga orang lain. Dan pilihan kita tergantung dari dalam diri kita sendiri apakah kita melakukan sebuah tindakan dari dua pilihan itu.

Seorang pemikir bernama Agustinus, mengatakan bahwa self-interest merupakan sebuah gerak vertikal terhadap penghambaan diri kepada pencipta kita, yaitu Allah. Sehingga bisa juga kita artikan bahwa lakukanlah kebaikan sebanyak  dan seikhlas mungkin, selain menguntungkan untuk diri kita, orang lain pun harus mendapat keuntungan. Yakini dalam diri bahwa setiap tindakan yang dilakukan bernilai besar bagi siapa pun yang terdampak. Biarkan Sang Pencipta yang mengukur seberapa banyak dan seberapa tulus hati dalam menjalankan segala kebaikan tersebut. 

Maka di sisa bulan suci yang penuh berkah ini, maksimalkan diri dalam mengejar amal, sebelum dijemput ajal.

Penulis    : Angelina Putri Asnun

Kamis, 13 Mei 2021

Irasional : Larangan Mudik dan Selamat Datang Warga Negara Asing

            H- kurang dari sepekan lagi umat beragama paling besar di Indonesia merayakan hari rayanya. Menjelang hari raya Idul Fitri 1442 H selain tradisi harga bahan pokok atau sembako naik, orang-orang yang bekerja di luar kampung halamannya juga memiliki tradisi yang dinamakan mudik.

Mudik atau pulang ke kampung halaman bisa dikatakan sebuah tradisi turun temurun menjelang perayaan besar seperti hari raya umat beragama. Maka Idul Fitri dan mudik bisa menjadi hal yang tidak terpisahkan. Bukan tanpa sebab tradisi mudik ini ada. Orang-orang yang bekerja di luar daerah asal biasanya hanya berkesempatan mendapat libur panjang di hari-hari besar tertentu, salah satunya momen tahunan Idul Fitri. Tak jarang mereka akan memanfaatkan kesempatan ini untuk berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara di kampung halaman.

Namun semenjak pandemi virus Covid-19 menyerang, pemerintah dengan segala upayanya dalam menghambat penyebaran virus ini gencar mengeluarkan kebijakan-kebijakan, mulai dari aspek pendidikan, pariwisata, sosial ekonomi dan yang utama kesehatan tentunya. Mudik adalah salah satu hal yang menjadi sasaran kebijakan pemerintah. Sejak tahun 2020 di awal virus ini masuk ke Indonesia berkisar awal bulan Februari, berbagai kebijakan-kebijakan pun dikeluarkan demi memutus rantai penyebarannya. Namun nyatanya virus ini lebih kuat dari kebijakan-kebijakan yang gencar dikeluarkan.

Dari hari raya Idul Fitri 1441 H tahun lalu, himbauan dilarang mudik telah dikumandankan, akan tetapi hanya pada wilayah yang berlaku Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), zona merah dan beberapa wilayah tertentu. Namun, pada larangan mudik tahun ini berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia, sebelum resmi berlaku pada tanggal 6 - 17 Mei 2021 pun masyarakat telah diminta untuk tidak keluar rumah.

Kebijakan larangan mudik yang ditujukan untuk menekan penyebaran virus Covid-19 dan memaksimalkan proses vaksinasi ini acap kali kembali menimbulkan pro dan kontra. Bukan tanpa alasan, di tengah isu pemerintah mengeluarkan petuah larangan mudik (sebelum tanggal 6 Mei) terdengar kabar bahwa sebanyak 117 warga negara India masuk ke Indonesia pada Rabu, 21 April 2021 melalui Bandara Soekarno-Hatta menggunakan pesawat carter. Sementara di India sana dikabarkan sedang dalam masa krisis Covid-19 yang sangat parah.

Kedatangan mereka tak heran menjadi senter perhatian masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan kebijakan larangan mudik bagi masyarakat Indonesia, sementara bandara Internasional masih leluasa terbuka dan sangat diberi kelonggaran. Sebenarnya pencegahan penyebaran virus seperti apa yang pemerintah harapkan?.

Hanya karena mereka memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (Kitas) dan Kartu Izin Tinggal Tetap (Kitap) lantas diperbolehkan masuk ke tanah ibu pertiwi. Lalu bagaimana dengan kami masyarakat pribumi. Jika karena alasan telah melalui prosedur di badan imigrasi dan melakukan screening test Covid-19 Warga Negara Asing (WNA) bersuka cita memasuki wilayah Indonesia, apakah kami juga ketika telah memiliki hasil tes PCR negatif juga boleh mudik? Nyatanya tidak begitu, para aparat-aparat pemeriksa tetap menyuruh pemudik putar balik meski terbukti dinyatakan negatif Covid.

Kebijakan larangan mudik di tengah masuknya WNA ini tentu menjadi hal yang irasional. Entah bagaimana pemerintah melogikakannya. Masyarakat lokal yang lahir dan besar di tanah ini sangat dibatasi untuk berhari raya di kampung halaman bersama keluarga mereka, sedang WNA bak raja dan ratu tamu istana. Sebegitu berharganya kah penduduk negeri luar dibanding penduduk lokal?

Terlintas di media-media koran dan digital, masyarakat sampai rela bersembunyi di dalam truk membawa anak dan istrinya, menahan pengap dan teriknya matahari demi berkumpul bersama orang tua dan sanak saudara yang masih ada. Namun tetap ketahuan juga oleh aparat pemeriksa. Bagaimanakah kemanusiaan berlaku di kondisi seperti ini? Tak hanya satu dua orang yang tertahan dan ketahuan mudik, tapi ada banyak, dengan beragam cerita. Mereka seakan diburu di negerinya sendiri, hanya karena keinginan dan kerinduan kepada orang tua.

"Tahun lalu kita dilarang mudik, tahun ini entah dilarang atau dibolehkan, percuma orang tua saya juga sudah tiada." Salah satu kalimat dari pro kontra larangan mudik yang membuat saya sebagai penulis ikut menitikkan air mata mendengarnya. Hal yang sangat miris terjadi di negeri merah putih ini.

Sebagian besar dari masyarakat kita telah menjadikan datangnya virus corona ini sebagai habits baru, karena telah lebih dari setahun kita hidup berdampingan, memakai masker setiap keluar rumah, menjaga jarak dengan orang lain dan kebiasaan-kebiasaan baru untuk mencegah penularan penyakit. Jadi, meskipun kasus-kasus orang yang terpapar masih ada, akan tetapi setidaknya masyarakat kita tidak lagi begitu parno dan ketakutan seperti awal-awal kemunculannya. Maka dari itu sebenarnya kekhawatiran siapa yang sedang pemerintah jaga?

            Cukup dengan melakukan tes Swab PCR atau sejenisnya dan pemeriksaan di jalur perbatasan, lalu pemerintah memastikan jalur antar kota lancar, saya pribadi berpendapat mudik tidak perlu dikekang sekeras ini, toh hanya sekali setahun dan faktor kemanusian juga, orang tua tidak hidup selamanya, rumah tetaplah merindukan penghuninya. Hal sederhana yang begitu berharga untuk arti sebuah hari raya dan kebersamaan.

Penulis    : Sri Nurfadillah Asnawi

Bergesernya Perilaku Konsumen di Era Post-Modernisme (Dari Rasional Ke-Irasional)

              Di era post modernisme dalam konteks perkembangan, masyarakat konsumen merupakan sebuah fase yang akan memperkenalkan kita ter...